Ambon negri yang kucinta
Sungguh indah pantainya
Akan Dikau takkan lupa
Slama ada napasku
Beta ingin mau pulang
Jika panjang umurku
Asal saja Tuhan sayang
Bila ada sertaku
***
Irama lembut menyusup perlahan menggetarkan nurani. Membangkitkan jiwa yang senyap. Mengendorkan syaraf yang kelu. Menguliti satu demi satu lapis keegoan yang tebal.
Alunannya membawa pesan damai pada setiap makhluk yang mendengarkan. Menghapus gulana yang mendera. Mengobati luka yang mengoyak rasa. Itulah deburan pantai di pesisir desa Liang, sebuah desa yang berjarak kurang lebih empat puluh kilometer dari kota Ambon.
Rasa kantuk menyergapku setelah tiga puluh lima menit terbuai oleh simponi pantai Hunimua, sebutan lain bagi pantai Liang. Kurebahkan tubuhku berselimut bayang-bayang pohon metanggor. Dalam hitungan detik pikiranku melesat cepat ke aras alfa dan teduh bersemanyam pada strata delta.
***
Pulas tidurku terhenti oleh tempias lembut air laut yang menyentuh ujung kakiku. Beningnya membelai saraf kesadaranku. Lembutnya menjalar melalui pori-poriku dan menyebar memenuhi relung kalbu terdalam. "Benar-benar firdaus di alam marcapada. Tak heran kalau pantai ini pernah dinobatkan menjadi salah satu pantai terindah di dunia," batinku berdecak kagum. Kuteringat lagu berjudul "Ole Sio" yang dinyanyikan oleh Lex's Trio:
Ambon negri yang kucinta
Sungguh indah pantainya
Akan dikau takkan lupa
Slama ada napasku
Beta ingin mau pulang
Jika panjang umurku
Asal saja Tuhan sayang
Bila ada sertaku
Seolah ada magnet sejuta Gauss yang membuat tubuhku tak mau bergeser dari tempatnya semula. Terbaring berkasur halusnya pasir pantai membuat setiap inci ragaku bersorak riang. Seolah baru saja menemukan sejawat tercinta yang lama tak bersua. Mungkin ini yang dinamakan back to nature. Tiduran di pasir pantai seperti ini mengingatkanku saat aku melancong ke desa Legung, Sumenep Madura. Hampir seluruh masyarakatnya mulai anak-anak hingga orang dewasa tidur beralaskan pasir pantai. Konon kebiasaan ini telah dilakukan turun-temurun dari nenek moyang mereka. "Tidur beralas pasir pantai dapat menghilangkan pegal linu, gatal-gatal bahkan penyakit stroke," begitu pengakuan mereka saat kutanya mengapa mereka tidur di pasir pantai. Dan bagiku, tidur di pasir pantai Liang bukan hanya sekedar menyembuhkan penyakit-penyakit jisim tetapi penyakit-penyakit kalbu seperti dengki, iri, marah, dan sombong hilang sekejap. Aneh memang. Tetapi nyata.
Kalau masyarakat Legung merasa nyaman tidur beralaskan pasir pantai, berbeda dengan punggung orang-orang modern saat ini yang dimanjakan dengan berbagai merek spring bed. Mulai dari merek Airland, Alga, American hingga Spring Air spring bed. Dari harga belasan hingga puluhan juta rupiah. Padahal berbagai penelitian telah mengungkap bahwa tidur di kasur empuk justru akan mengakibatkan masalah pada punggung dan pinggang. "Salah satu penyebab nyeri pinggang adalah tingginya tekanan pada daerah lumbal yakni bagian bawah punggung yang menyangga berat badan. Saat tidur seharusnya kita mengistirahatkan daerah lumbal. Namun dengan menggunakan kasur empuk justru daerah lumbal ini menjadi lebih berat," begitulah penjelasan seorang dokter senior yang pernah kutemui saat aku masih mahasiswa.
Kali ini indra penglihatanku tak berkejap saat membuang mata pada dua pulau terpisah yang berada tepat didepanku. Yang pertama adalah pulau Pombo. Sebuah pulau kecil tak berpenghuni namun memaparkan keindahan Ilahi yang tak sanggup dijabarkan oleh seorang sastrawan atau penyair atau seorang seniman manapun. Dari tempatku memandang hanya butuh lima belas menit untuk sampai kesana dengan speedboat. Saat menapak pertama kali, Kaki Anda akan dibelai oleh pasir putih halus yang masih perawan. Mata Anda akan disuguhkan dengan beningnya air laut sehingga eloknya ikan hias, jelitanya plankton, moleknya trumbu karang dan apiknya batu karang dapat Anda saksikan dengan mata telanjang. Telinga Anda akan diperdengarkan dengan instrumentalia laksmi dari berbagai jenis burung dan satwa liar yang belum terjamah oleh tangan-tangan jahil manusia. Lambaian pohon-pohon ketapang, beringin, Nauclea Orientalis, Barringtonia asiatica dan Erythrina Variegata seakan memanggil Anda untuk tetap berada di pulau itu.
Yang kedua adalah pulau seram. Pulau ini disebut juga Nusa Ina yang bermakna pulau ibu. Dikatakan demikian karena konon semua orang Ambon itu berasal dari pulau Seram. Sehingga ada lagu Ambon yang sangat populer:
"Dari ujung Halmahera sampai Tenggara Jauh katong samua basodara. Nusa Ina katong samua dari sana"
Bila cuaca cerah, pulau ini tampak hijau kebiruan saat dipandang dari pantai Liang. Butuh waktu sekitar enam jam untuk sampai kesana dengan menggunakan ferry. Atau sekitar tiga jam dengan kapal cepat.
Tiga puluh menit yang lalu tampak sebuah kapal motor ferry Tanjung Koako melintas. Muatan berjubel, melebihi kapasitas. Kudengar kapal motor lainnya naik dok. Akibatnya baik penumpang di pelabuhan Tulehu maupun Waepirit menumpuk. Tak sabarnya para penumpang untuk sampai ke tujuan plus tak ada tindakan tegas dari pihak berwenang membuat kapal itu sedikit oleng ke kanan. "Mudah-mudahan mereka selamat sampai tujuan,"kataku lirih.
Tak terasa cakrawala memerah. Sekawanan Ducula Bicolor atau burung Pombo kembali ke habitatnya. Dengan rikuh air pasang merendam tungkakku. Membawa pesan agar aku segera beranjak. Berat memang meninggalkan suatu tempat yang cendayam dan eksotis.
Lamat-lamat suara azan beresonansi dengan ayat-ayat kauniyah menambah juwitanya aura senja itu.
Sungguh indah pantainya
Akan Dikau takkan lupa
Slama ada napasku
Beta ingin mau pulang
Jika panjang umurku
Asal saja Tuhan sayang
Bila ada sertaku
***
Irama lembut menyusup perlahan menggetarkan nurani. Membangkitkan jiwa yang senyap. Mengendorkan syaraf yang kelu. Menguliti satu demi satu lapis keegoan yang tebal.
Alunannya membawa pesan damai pada setiap makhluk yang mendengarkan. Menghapus gulana yang mendera. Mengobati luka yang mengoyak rasa. Itulah deburan pantai di pesisir desa Liang, sebuah desa yang berjarak kurang lebih empat puluh kilometer dari kota Ambon.
Rasa kantuk menyergapku setelah tiga puluh lima menit terbuai oleh simponi pantai Hunimua, sebutan lain bagi pantai Liang. Kurebahkan tubuhku berselimut bayang-bayang pohon metanggor. Dalam hitungan detik pikiranku melesat cepat ke aras alfa dan teduh bersemanyam pada strata delta.
***
Pulas tidurku terhenti oleh tempias lembut air laut yang menyentuh ujung kakiku. Beningnya membelai saraf kesadaranku. Lembutnya menjalar melalui pori-poriku dan menyebar memenuhi relung kalbu terdalam. "Benar-benar firdaus di alam marcapada. Tak heran kalau pantai ini pernah dinobatkan menjadi salah satu pantai terindah di dunia," batinku berdecak kagum. Kuteringat lagu berjudul "Ole Sio" yang dinyanyikan oleh Lex's Trio:
Ambon negri yang kucinta
Sungguh indah pantainya
Akan dikau takkan lupa
Slama ada napasku
Beta ingin mau pulang
Jika panjang umurku
Asal saja Tuhan sayang
Bila ada sertaku
Seolah ada magnet sejuta Gauss yang membuat tubuhku tak mau bergeser dari tempatnya semula. Terbaring berkasur halusnya pasir pantai membuat setiap inci ragaku bersorak riang. Seolah baru saja menemukan sejawat tercinta yang lama tak bersua. Mungkin ini yang dinamakan back to nature. Tiduran di pasir pantai seperti ini mengingatkanku saat aku melancong ke desa Legung, Sumenep Madura. Hampir seluruh masyarakatnya mulai anak-anak hingga orang dewasa tidur beralaskan pasir pantai. Konon kebiasaan ini telah dilakukan turun-temurun dari nenek moyang mereka. "Tidur beralas pasir pantai dapat menghilangkan pegal linu, gatal-gatal bahkan penyakit stroke," begitu pengakuan mereka saat kutanya mengapa mereka tidur di pasir pantai. Dan bagiku, tidur di pasir pantai Liang bukan hanya sekedar menyembuhkan penyakit-penyakit jisim tetapi penyakit-penyakit kalbu seperti dengki, iri, marah, dan sombong hilang sekejap. Aneh memang. Tetapi nyata.
Kalau masyarakat Legung merasa nyaman tidur beralaskan pasir pantai, berbeda dengan punggung orang-orang modern saat ini yang dimanjakan dengan berbagai merek spring bed. Mulai dari merek Airland, Alga, American hingga Spring Air spring bed. Dari harga belasan hingga puluhan juta rupiah. Padahal berbagai penelitian telah mengungkap bahwa tidur di kasur empuk justru akan mengakibatkan masalah pada punggung dan pinggang. "Salah satu penyebab nyeri pinggang adalah tingginya tekanan pada daerah lumbal yakni bagian bawah punggung yang menyangga berat badan. Saat tidur seharusnya kita mengistirahatkan daerah lumbal. Namun dengan menggunakan kasur empuk justru daerah lumbal ini menjadi lebih berat," begitulah penjelasan seorang dokter senior yang pernah kutemui saat aku masih mahasiswa.
Kali ini indra penglihatanku tak berkejap saat membuang mata pada dua pulau terpisah yang berada tepat didepanku. Yang pertama adalah pulau Pombo. Sebuah pulau kecil tak berpenghuni namun memaparkan keindahan Ilahi yang tak sanggup dijabarkan oleh seorang sastrawan atau penyair atau seorang seniman manapun. Dari tempatku memandang hanya butuh lima belas menit untuk sampai kesana dengan speedboat. Saat menapak pertama kali, Kaki Anda akan dibelai oleh pasir putih halus yang masih perawan. Mata Anda akan disuguhkan dengan beningnya air laut sehingga eloknya ikan hias, jelitanya plankton, moleknya trumbu karang dan apiknya batu karang dapat Anda saksikan dengan mata telanjang. Telinga Anda akan diperdengarkan dengan instrumentalia laksmi dari berbagai jenis burung dan satwa liar yang belum terjamah oleh tangan-tangan jahil manusia. Lambaian pohon-pohon ketapang, beringin, Nauclea Orientalis, Barringtonia asiatica dan Erythrina Variegata seakan memanggil Anda untuk tetap berada di pulau itu.
Yang kedua adalah pulau seram. Pulau ini disebut juga Nusa Ina yang bermakna pulau ibu. Dikatakan demikian karena konon semua orang Ambon itu berasal dari pulau Seram. Sehingga ada lagu Ambon yang sangat populer:
"Dari ujung Halmahera sampai Tenggara Jauh katong samua basodara. Nusa Ina katong samua dari sana"
Bila cuaca cerah, pulau ini tampak hijau kebiruan saat dipandang dari pantai Liang. Butuh waktu sekitar enam jam untuk sampai kesana dengan menggunakan ferry. Atau sekitar tiga jam dengan kapal cepat.
Tiga puluh menit yang lalu tampak sebuah kapal motor ferry Tanjung Koako melintas. Muatan berjubel, melebihi kapasitas. Kudengar kapal motor lainnya naik dok. Akibatnya baik penumpang di pelabuhan Tulehu maupun Waepirit menumpuk. Tak sabarnya para penumpang untuk sampai ke tujuan plus tak ada tindakan tegas dari pihak berwenang membuat kapal itu sedikit oleng ke kanan. "Mudah-mudahan mereka selamat sampai tujuan,"kataku lirih.
Tak terasa cakrawala memerah. Sekawanan Ducula Bicolor atau burung Pombo kembali ke habitatnya. Dengan rikuh air pasang merendam tungkakku. Membawa pesan agar aku segera beranjak. Berat memang meninggalkan suatu tempat yang cendayam dan eksotis.
Lamat-lamat suara azan beresonansi dengan ayat-ayat kauniyah menambah juwitanya aura senja itu.